Pertemuan Terakhir
Pagi yang cerah, jarum jam menunjukkan pukul 07:05.
“ Assalamualaikum anak-anak….” Ucap pak Darmo yang ku lihat sudah berdiri di depan kelas.
“ Waalaikumsalam Pak.” Kami serempak menjawab.
“Anak-anak, hari ini kelas kalian kedatangan murid baru, Bapak harap kalian bisa membantunya dalam menyesuaikan diri di kelas ini.” Ujar pak Darmo, lalu melanjutkannya dengan menyuruh siswa baru itu untuk memperkenalkan diri.
“Selamat pagi semuanya, perkenalkan nama saya Aswan. Saya pindahan dari SMAN 2 Sambas. Mudah-mudahan kalian dapat menerima saya di kelas ini. Terima kasih.”
”Baiklah, Bapak kira sudah cukup perkenalannya. Sekarang kamu boleh duduk di kursi yang kosong itu.” Deg….jantungku langsung berdetak cepat. Setahuku di kelas ini kursi kosong hanya ada satu, yaitu di sampingku. Cowok dengan tinggi kira-kira 165 cm, menggunakan peci yang kuperhatikan sedikit kusam itu, berjalan ke arahku, lalu duduk sembari tersenyum kepadaku. Aku mengacuhkannya, dan aku tidak begitu senang dengan kehadirannya.
“Aswan….” Seraya mengarahkan tangan kanannya kepadaku. Aku mengerti maksudnya, tapi aku pura-pura tidak mendengar dan menyibukkan diri dengan PR kimia yang belum kuselesaikan. Dia menurunkan tangannya seperti mengerti bahwa aku tidak menerima dengan baik kehadirannya. Aku tak peduli……….?
Bel istirahat berbunyi. Seperti biasa, aku dan Siska bergegas menuju kantin.
“Ku perhatikan dari tadi, kok kayaknya kamu nggak suka gitu sama Aswan Fel?”
“Jadi dari tadi kamu ngamatin aku Sis? Hmmmh……..aku nggak suka aja sama dia. Lihat aja penampilannya yang kayak gitu.”
“Kamu kan belum tahu dia gimana, kayaknya dia baik.” Siska mencoba membela.
“Itu kan menurut kamu! Intinya aku tetap nggak suka sama dia titik.” Aku kembali menegaskan. Aku juga nggak tahu kenapa hari itu aku jutek abis.
“Sabar buk...sabar. Kamu kenapa? Ada masalah? Hari ini aku lihat kayaknya kamu lagi pusing, cerita dong…kalau kamu lagi ada masalah, jangan marah-marah nggak karuan gini.” Siska mencoba menenangkanku.
“Nggak tahu nih, bawaannya pengen marah terus. Entar sore, kamu nggak kemana-mana kan? Datang ke rumahku ya, ada yang mau aku ceritakan sama kamu.” Sambil ku habiskan segelas teh es yang ada di depanku. Lalu kami kembali ke kelas melanjutkan pelajaran hingga bel pulang sekolah pun berbunyi.
Sepulang sekolah, aku bergegas menuju rumah. Tanpa menghiraukan sapaan-sapaan kecil di sepanjang perjalananku. Dengan wajah murung dan tertunduk lesu aku tiba di rumah dan langsung menuju kamar untuk menemui Randu, boneka beruang yang setia menemaniku. Tak lama kemudian, “tok…tok…tok…assalamualaikum….”
“Waalaikum salam…” jawabku sambil membukakan pintu.
“Siska…???” Aku terkejut, ternyata Siska dari tadi mengikutiku dan tak sabar ingin mendengarkan ceritaku.
“Ayo masuk,” ujarku sambil menarik tangannya menuju ke kamar.
“Hmmhh….. mau cerita apa jeng?” Siska membuka pembicaraan.
Aku duduk bersila, lalu mengambil boneka beruang dan memeluknya.
“Kok diem, katanya mau cerita...?” Aku tetap diam, wajahku tambah sendu. Siska yang memperhatikanku dari tadi menjadi heran.
“Kenapa kamu Fel? Kok sedih?” Ia kembali bertanya. Aku bangkit menuju lemari pakaianku, lalu mengambil sebuah album foto. Aku mendekati Siska yang sedari tadi heran melihat tingkah laku ku. Lalu ku perlihatkan salah satu foto keluarga yang terdapat di dalam album tersebut. Fotoku waktu masih kecil yang sedang bersama kedua orang tuaku. Berat rasanya untuk ku mulai bercerita.
“Ini pasti ayah kamu, yang di gendong ini pasti kamu kan? Terus yang menggendong kamu ini siapa Fel? Kok nggak mirip Mama kamu?” Siska menunjuk satu persatu orang yang ada di foto tersebut. Sontak ludahku terasa tertahan di kerongkongan, sakit untuk mengeluarkan kata-kata setelah mendengar pertanyaan Siska. Namun aku berusaha untuk memulai bercerita.
“Dia ibu ku Sis, ibu kandungku.” Suaraku berubah menjadi serak, seketika air mata yang tak tertahan terbuncah keluar.
“Maksud kamu? Terus, yang tadi di luar? Aku semakin nggak ngerti maksud kamu Fel.”
“Iya Sis, ini ibuku. Ibu yang melahirkanku. Sedangkan yang tadi adalah mama tiriku. Ayah dan ibu sudah lama bercerai, saat aku berumur enam tahun. Aku tidak pernah bertemu lagi dengan ibu semenjak perceraian itu. Saat aku menginjak SMP ayah menikah dengan mama. Dan sekarang aku ingin bertemu ibuku Sis....” Dengan penjelesan itu, kelihatannya Siska sudah sedikit mengerti akan masalah yang ku hadapi. Ia langsung memelukku.
“Sabar ya, aku yakin suatu saat nanti kamu pasti akan bertemu dengan ibumu. Hmmh...apa ayah dan mama mu tahu akan hal ini?” Siska melepaskan pelukannya lalu menatapku.
“Mereka nggak tahu Sis, bahkan ayah mengira aku sudah melupakan ibu.” Aku menghapus air mata yang sedari tadi membasahi pipiku.
“Meskipun saat itu aku masih kecil, tapi sampai sekarang aku masih bisa mengingat semuanya yang berhubungan dengan ibu. Karena bagaimanapun juga dia adalah ibuku.” Siska yang mungkin dapat merasakan kesedihanku, kembali memelukku erat.
***
Hari demi hari ku lalui tanpa ada perubahan. Saat itu, hari Selasa pukul 07.10, aku menguras tenagaku untuk berlari menuju kelas, berharap bu Hesty guru biologi itu tidak mendahuluiku. Dengan sedikit ngos-ngosan aku tiba di kelas, dan alhamdulillah keberuntungan hari itu berpihak kepadaku.
“Kesiangan Fel..?” Aswan tersenyum kepadaku. Lagi dan lagi aku berpura-pura tidak mendengarnya dan aku bahkan tidak merespon sedikit pun. Sudah seminggu aku duduk sebangku dengan dia. Tapi sampai detik ini aku masih mempertahankan sikap jutekku terhadapnya. Aku sendiri tidak tahu mengapa sangat sulit untuk menerima kehadirannya dengan baik di sini. Apa aku terlalu mengutamakan rasa gengsiku? Hhmmmhhh….entahlah.
“ Apa kamu tidak senang aku duduk di sini? Maaf…kalau memang benar begitu, tapi aku hanya ingin kita berteman dan ada yang ingin aku sampaikan bahwa sebenarnya….” Aswan terpaksa memutuskan pembicaraannya saat melihat bu Hesty masuk ke kelas . Proses belajar mengajar pun berlangsung seperti biasa.
***
Senja menutup kabur hatiku yang penuh kegalauan. Seketika aku teringat akan facebookku yang sudah beberapa hari ini ku abaikan. Ku buka akun FB lalu kulihat ada lima permintaan pertemanan, dua pemberitahuan dan satu pesan. Aku memulai dengan mengkonfirmasi semua permintaan pertemanan, lalu melanjutkannya dengan membuka pemberitahuan dan yang terakhir membaca kotak masuk. Kulihat pesannya yang tertanggal baru kemarin dikirim.
A.Raditya:
“Aku ingin melihat senyummu..”
Aku menaikkan alis kiriku, mencoba mengingat apa aku mempunyai teman yang bernama Raditya. Aku kemudian membuka profilnya. Ternyata dia menggunakan foto profil seorang wanita yang sudah cukup berumur yang ku tafsirkan berusia lima puluh tahun.
“Mungkin ini foto ibunya.” Ucapku dalam hati. Ku perhatikan wajah wanita itu, terdapat senyum yang sangat manis. Wanita itu mengingatkan ku pada ibu, karena ibu juga berumur sekitar lima puluh (50) tahun. Ahh, aku segera menyadarkan diri dari lamunanku. Lalu ku lanjutkan dengan melihat infonya: A.Raditya, laki-laki, 16 Juni 1992, SMAN 2 Sambas. Untuk sementara informasi ini yang ku dapat. Hhmmhh…aku lalu usil membuka album foto miliknya, hanya terdapat dua foto. Yang pertama foto wanita yang dijadikannya foto profil, dan yang kedua adalah foto keluarga. Tampak sebuah keluarga yang sangat bahagia. Aku menarik nafas panjang, kemudian melepaskannya perlahan. Aku kembali ke beranda, dan menulis di kotak status:
“Aku terpuruk, tenggelam di tengah gelak tawa. Harapan silih berganti, impian pun datang tapi sesudah itu pergi, pikiranku melayang meninggalkan raga yang tertahan, berharap bayangannya kan datang menghampiri dan memelukku…Ibuuuu….aku merindukanmu.”
Tak ku sadari air mata telah mengalir di pipiku, ku rasakan kalimat itu terlalu dalam untuk ku artikan kembali. Sebuah kerinduan yang terhakimi oleh waktu, sehingga senyuman pun sulit untuk ku ciptakan.
Keesokan harinya aku ke sekolah seperti biasa. Tapi kali ini sebelum pukul 07.00 aku sudah tiba di sekolah. Aku duduk di dalam kelas sambil menunggu bel masuk berbunyi. Ku lihat kursi di sebelahku masih kosong, padahal lima menit lagi bel masuk akan berbunyi.
“Tumben si cupu udik belum datang, biasanya dia sudah jadi pemecah rekor siswa yang datang terawal.” Gerutuku dalam hati.
“Selamat pagi anak-anak” tiba-tiba Pak Rafiq wali kelas XII IPA2 masuk ke kelas. Sepertinya ada pengumuman, karena sekarang adalah pelajaran bu Lily yaitu bahasa inggris.
“Sebelumnya Bapak minta waktu sebentar, karena ada yang ingin Bapak sampaikan, yaitu mengenai berita duka. Ibu dari salah satu teman kalian meninggal dunia.” Sontak satu kelas ribut, namun salah seorang dari mereka nyeletuk.
“Emangnya orang tua siapa Pak?” Seketika kelas menjadi hening.
“Orang tua Aswan.” Deg…..rasanya detak jantungku tiba-tiba terhenti, pikiranku melayang entah ke mana, kosong. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa sangat bersalah saat itu. Aswan seorang cowok yang selalu membuatku risih, orang yang ku anggap sok alim dan pintar cari perhatian, sekarang malah membuatku menjadi merasa sangat bersalah atas semua sikap ku terhadapnya, atas penolakan ajakannya tuk berteman denganku, sikap dingin, ketidakpedulianku dan semuanya. Maafkan aku.
“Fel, sekarang juga kita harus ke Sambas.” Suara itu mengejutkan ku dari belakang. Ternyata pagi itu juga ayah langsung menjemputku setelah mendengar kabar duka tersebut.
“Emang ada apa yah?” Ayahku tidak mengatakan apa pun selain langsung menarik tanganku menuju mobil. Tanpa memberiku waktu untuk mengganti pakaian, ayah langsung memacu mobilnya.
Ayah berhenti di sebuah rumah yang kelihatannya sedang ada acara, lalu ku lihat bendera kuning yang terdapat di depan rumah tersebut, pertanda ada yang sedang meninggal dunia. Ayah mengajakku turun, lalu berjalan ke arah rumah tersebut. Aku hanya mengikuti. Terdengar olehku lantunan surah yasin dari dalam rumah itu. Ada seorang bapak yang menyambut kedatangan kami, dia tersenyum mempersilakan kami masuk, dan aku yakin senyuman itu menyimpan kesedihan yang mendalam. Di ruangan itu sudah penuh oleh orang-orang yang sedang tahlilan, dan yang tak terlepas dari pandangan ku, yaitu sekujur tubuh yang ku lihat terbujur kaku. Seluruh tubuhnya sudah ditutupi dengan kain putih. Aku dan ayah duduk di sudut ruangan yang tak jauh dari jenazah. Aku menatap ayah, berharap ayah akan menjelaskan sesuatu kepadaku. Ayah seperti mengerti akan makna dari tatapanku. Ayah kemudian memelukku.
“Maafkan Ayah nak, Ayah telah menyembunyikan hal ini kepadamu, Ayah takut kamu akan terkejut mendengarnya.” Ayah melepaskan pelukannya.
“Ibu mu Fel…ibumu telah meninggal dunia.” Suara ayah berubah serak.
Seketika jiwaku terasa seperti tersambar petir, jiwaku terasa lenyap…kosong…saat mendengar penjelasan ayah. Aku tidak percaya, duniaku benar-benar terasa runtuh. Orang yang ku harap dapat ku temui untuk meluapkan rasa rindu ku, kini telah terpejam untuk selamanya. Aku memeluk tubuh kaku itu, berharap dia dapat merasakan apa yang aku rasakan. Namun harapan itu harus ku musnahkan ketika menyadari di pelukanku hanyalah sebuah raga kosong. Aku hanya dapat menangisi hal yang sudah terjadi. Aku tak dapat mengendalikan emosiku saat itu. Entah apa yang ada di benakku, hingga sampai aku di kejutkan oleh suara yang tak asing di telingaku.
“Innalillahiwainnailaihirajiuunn…sudahlah Fel, ikhlaskan kepergian ibu, karena sebentar lagi proses penguburan akan di laksanakan.” Aku tak dapat menggetarkan bibir ketika mendengar ucapan Aswan yang saat itu sudah berada di belakangku. Hatiku masih berkecamuk saat itu.
Pemakaman telah selesai, namun aku masih berada di lokasi tersebut. Aku memeluk pusara ibu. Kebencian akan diriku sendiri saat itu masih belum hilang.
“Apa kau sudah mengikhlaskannya?” Aswan tiba-tiba menghampiriku. Aku tidak menjawab pertanyaannya.
“Mengapa kau bisa ada di sini?” aku balik bertanya.
“Beliau adalah ibuku, ibu kita. Ayahku menikah dengan ibu setelah setahun perceraiannya dengan ayahmu. Aku juga baru mengetahui bahwa kita adalah saudara tiri. Ayahmu yang menceritakan semuanya kepadaku saat menjenguk ibu di rumah sakit. Itu pertama kalinya aku bertemu dengan ayahmu. Beliau juga cerita, bahwa beliau sengaja tidak memberitahumu soal ibu, beliau tidak ingin membuatmu berharap banyak untuk bertemu ibu yang saat itu sedang sakit keras.” Aswan mencoba menjelaskan. Aku hanya bisa diam, untuk marah saat itu pun ku pikir percuma.. karena kemarahanku tidak akan merubah keadaan.
***
Seminggu setelah kejadian itu, wajah sedihku masih tak dapat ku sembunyikan. Aku termangu di tepian jendela, menatap kosong semua yang ada di luar sana. Mencoba mengubur semua penyesalan dan rasa bersalahku bersama mentari yang terus berganti hari. Tiba-tiba aku teringat akan pesan di kotak masuk facebookku kemarin. Bergegas ku buka kembali FB ku yang sudah satu minggu ku lupakan. Ternyata ada satu pesan baru.
“Hhmmhhh…lagi-lagi pesan dari Raditya yang tak ku ketahui asal-usulnya.” Gerutuku.
A.Raditya:
* Cinta,kasih dan sayang adalah rasa yang abadi. Kehilangan bukanlah suatu akhir, melainkan suatu awal untuk kita lebih bisa menghargai orang-orang terdekat kita, karena rasa cinta itu akan hadir di saat kita sudah kehilangannya. Ibu akan tersenyum melihatmu, karena kamu masih memiliki cinta untuknya dan mengikhlaskan kepergiannya. Aku sama sepertimu, yang sangat merasakan kehilangan. Karena kita memiliki rasa cinta dari sumber yang sama, yaitu sebuah kasih sayang. Aswan Raditya.*
Aku kaget, “Aswan Raditya?” Otakku mengobrak-abrik memori yang ada.
“Aswan? Apakah dia? Jadi…foto profil ini…ibu.” Mengapa semua ini terjadi secara kebetulan? Dan bodohnya aku tidak menyadari semua itu. Sikap dinginku, penolakanku, kematian ibu, bersaudara tiri dengannya,…dan terakhir facebook ini. Mengapa aku mengabaikan semua orang yang ada di dekat ku? Andai saja waktu itu aku berhubungan baik dengan Aswan, mungkin aku akan di beri kesempatan untuk mengetahui semuanya, dan terlebih bisa bertemu dengan ibu dalam keadaan yang lebih baik. Yaitu pertemuan yang sesuai dengan harapanku, dan bukan pertemuan terakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar